Jakarta,
AR-RIKHSAN- Tradisi santri identik dengan sikap mental tradisional yang kolot,
fanatik, bersikukuh pada pandangan atau kebiasaan lama, meskipun terbukti
keliru. "Tradisi pesantren tidak seperti itu. Cukup luwes dan
inklusif, yakni memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil pandangan baru
yang lebih baik,”ungkap Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Dirjen
Pendidikan Islam Kemenag, Ace Syaifuddin, Kamis
(18/7).
Sikap mental tertutup menurut dia bukan ciri khas santri. Sejenis itu adalah taqlidul a’ma (taklid buta). Atau, dalam istilah Alquran “hanya mengikuti ma qala abaana (tradisi nenek moyang kami).
Sikap mental tertutup menurut dia bukan ciri khas santri. Sejenis itu adalah taqlidul a’ma (taklid buta). Atau, dalam istilah Alquran “hanya mengikuti ma qala abaana (tradisi nenek moyang kami).
Maka, Ace menegaskan jika istilah mengambil pandangan baru bukan berarti mengadopsi elemen budaya lain tapi beradaptasi. Dengan demikian, keaslian akar tradisi tidak pernah tercerabut atau ternodai.
Dalam konteks Ponpes Gontor misalnya, istilah tradisi disebut sunnah dan disiplin. Isinya tidak lain adalah nilai-nilai, jiwa dan filsafat hidup sebagaimana yang diformulasikan dalam panca jiwa, motto, orientasi, dan sintesa berbagai institusi sebagai profil ideal Gontor.
"Konsep mendidik pesantren terkini adalah untuk masa yang akan datang. Tentu lebih kompleks tantangan dan peluang umat pada masa depan,"ulas Ace. Salah satu indikatornya adalah kemunduran yang disebabkan oleh perpecahan internal, lemah organisasi, dan kemiskinan ilmu dan iman.
Pandangan progresif pendidikan di atas membawa konsekuensi pola pikir bahwa santri diproyeksikan menjadi insan pemimpin nilai kebaikan. Kemudian santri dilatih berpikir bagi kemaslahatan umat. "Konsekuensi lain, santri harus belajar berorganisasi. Seluruh kehidupan santri diatur dalam sistem organisasi santri sendiri,"tegas Ace.
Di dalam organisasi inilah santri secara riil belajar amanah, tanggung-jawab, merencanakan program, berdisiplin, bekerja sama, adil, peduli sesama, dan nilai-nilai khuluqiyah lainnya. Dalam suasana seperti inilah tercipta masyarakat pembelajar.
Kemenag pun mengaplikasikan konsep tadi ke dalam program-program beasiswa dan ikatan kerja bagi santri serta lulusan perguruan tinggi agama Islam sekitar lima tahun lalu. Sehingga usai menamatkan pendidikan mereka bisa menyebarkan kembali ke masyarakat, sekaligus mengasah kemampuan bersosialisasi.
Dalam kurikulum pendidikan Islam ini, mereka dikontrak selama tiga tahun. Jika ada perpanjangan, semua diserahkan para santri. "Ini membuktikan pendidikan pesantren penuh keterbukaan dan harus bisa berdaya guna di tengah masyarakat,"ulas Ace.[Oksi Juniardi/Republika Online]
0 komentar:
Posting Komentar